Rabu, 09 Juli 2014

Bagian yang Hilang dari #BeforeHappiness

Ini merupakan bagian yang terhapus dari novel Before Happiness pada revisi keenam kalau tidak salah (dari delapan kali revisi). Aku sempat ingin mempertahankannya karena di sini chesmistry Happy dan Gerald dimulai. Tapi editor meminta untuk dihilangkan. So, baca aja bagi yang #TeamGerald :)

BAB 5


Pagi-pagi sekali Bunda membangunkaku dengan sangat bersemangat. Aku pikir ini sudah masuk Senin pagi yang menyebalkan, tapi ternyata masih hari Minggu. Dan pertanyaan paling urgent: kenapa Bunda mengganggu hari indahku?
            “Bangun, Happy, matahari bersinar cerah,” kata Bunda dengan senyum mengembang sambil meliuk-liukan spatula seolah aku peduli dengan matahari bersinar cerah.
            “Bunda ngapain sih? Kan aku uda bilang kalau hari Minggu biarin aku males-malesan di kamar,” keluhku seraya kembali bergelung di bawah selimut yang hangat. Melihat tingkahku, Bunda buru-buru menarik selimut motif polkadot itu hingga aku terpaksa bangun.

Selasa, 03 Juni 2014

Review: EDGE OF TOMORROW [2014]

©Warner Bros
Musim panas kali ini diwarnai oleh pesona duda tampan Tom Cruise dalam film besutan Doug Liman bertajuk EDGE OF TOMORROW. Fitur bergenre sains fiksi satu ini diadaptasi berdasarkan novel berjudul All You Need is Kill karangan Hiroshi Sakurazaka yang hak ciptanya sudah dibeli pada tahun 2009 silam.

Film menyeret kita ke masa depan, tepatnya saat bumi diinvasi oleh alien dan William Cage (Tom Cruise) mendadak ditugaskan untuk bertempur melawan makhluk yang disebut Mimic tersebut. Malangnya, Cage tak bisa menolak walau jabatan sebagai perwira yang tak pernah bertempur membuat perintah itu semacam tugas bunuh diri.

Dan ya, diantara  ketidakikhlasan tersebut, pada pertengahan perang Cage memang ditemukan tewas diserang Mimic. Selesai? Tunggu dulu! Justru baru dititik ini film benar-benar dimulai karena Cage terbangun dan kembali jalani hari sebelum perang. Seolah belum cukup, dia tewas sekali lagi dalam peperangan dan terbangun pada hari sebelum perang dimulai. Apa sih yang sebenarnya terjadi?

Well, tentu saja saya tak akan bercerita lebih banyak karena akan merusak kenikmatanmu menonton film ini. Sama seperti saya yang tak tahu menahu dan sangat menikmati sensasi time loop yang ditawarkan Doug Liman mengandalkan naskah garapan Christopher McQuarrie.

EDGE OF TOMORROW memang akan sangat mengejutkan ketika kamu menebak bila film ini akan serupa dengan STARSHIP TROOPERS. Karena selain diselipi dengan komedi yang tepat, ia memasukkan unsur time loop ala GROUNDHOG DAY atau yang terbaru SOURCE CODE, yang dijamin bakal membuatmu terjaga akan keseruan yang tercipta.

Tom Cruise yang dipasangkan dengan Emily Blunt sebagai Rita Vritaski pun tampil dengan performa cukup kuat. Keduanya berhasil memainkan karakter masing-masing sehingga ketika roda penceritaan semakin bergulir, emosi penonton benar-benar dibuat terlibat di dalamnya.

EDGE OF TOMORROW semula memang tampak berat dan membingungkan pada paruh awal. Namun ketika pintu demi pintu terbuka, kita akan tahu betapa menariknya film ini.

Membuat film dengan unsur time loop memang terbilang susah karena butuh kejelian dalam mengaturnya sedemikian rupa. Namun Doug Liman berhasil mewujudkan kisah dalam novel dengan cukup apik walau mungkin tidak terlampau istimewa.

SCORE: 7.5/10

Jumat, 23 Mei 2014

Review: X-MEN: DAYS OF FUTURE PAST [2014]

©20th Century Fox

Bryan Singer seperti merasa bersalah saat meninggalkan proyek X-MEN: THE LAST STAND demi menahkodai SUPERMAN RETURNS. Maka untuk mengembalikan franchise andalan 20th Century Fox ke 'jalan yang benar', ia melakukan sebuah keputusan besar dalam alur penceritaan X-MEN: DAYS OF FUTURE PAST.

Bertahun-tahun setelah kejadian dalam X-MEN 3,  bumi dikuasai oleh Sentinel yang bertugas membasmi mutan. Namun keadaan semakin tidak kondusif karena manusia turut dibinasakan robot raksasa ciptaan Dr Bolivar Trask (Peter Dinklage) yang mati dibunuh oleh Mystique (Jennifer Lawrence).

Tak tahan melihat populasi manusia dan mutan yang semakin menipis, Profesor X (Patrick Stewart) meminta Wolverine (Hugh Jackman) kembali ke masa lalu dengan bantuan Kitty Pryde (Ellen Page) untuk mencegah pembunuhan Bolivar. Karena itulah satu-satunya cara yang dianggap mampu mengubah masa depan dari kehancuran.

Sayangnya, usaha pemilik cakar adamantium itu tidaklah mudah karena perselisihan paham antara Charles Xavier (James McAvoy) dan Magneto (Michael Fassbender) pasca krisis misil Kuba. Berhasilkan Wolverine meyakinkan Charles dan Magneto untuk bersatu mencegah rencana Mystique yang imbasnya pada masa depan sangat berbahaya?

X-MEN: DAYS OF FUTURE PAST  mengambil ide dasar dari komik The Uncanny X-Men edisi 142 yang ditulis oleh Chris Claremont dan John Byrne. Namun tentu saja, dilakukan banyak perubahan dalam rangka memperbaiki bolong-bolong yang tercipta setelah Brett Ratner memorak porandakan franchise ini pada seri ketiga.

Dan rupanya, keputusan berisiko yang diambil Bryan Singer dengan memasukkan elemen time travel pada seri terbaru sangatlah tepat. Pertama, ia sukses menambal sulam inkonsistensi di dunia X-Men yang seolah tidak bisa berkembang sejak seri ketiga. Kedua, ia berhasil mengembalikan film ini ke jalannya. Bahkan, membuka kesempatan untuk memulai franchise agar lebih masif.

Kekuatan film ini terdapat pada jalinan cerita yang padat dan fokus langsung ke inti. Sejak film dibuka dengan serangkaian adegan laga dan pamer kekuatan para mutan dari Bishop, Iceman, Colossus sampai Storm, penonton sudah berhasil dibuat Simon Kinberg, selaku penulis naskah, terlibat lebih dalam secara emosi.  

Hal tersebut didukung oleh visualisasi Bryan Singer dengan dua tone berbeda sesuai tahun yang memperkuat penceritaan. Yakni tone suram pada masa depan dan tone penuh warna pada tahun 1973. Unsur drama dan komedi melaju dengan sangat pas. Pun dengan tampilan kekuatan para mutan seperti Quicksilver (Evan Peters) dan Blink (Fan Bingbing) yang berhasil mencuri screen.

Jika ada kekurangan yang menjadi catatan adalah banyaknya mutan pendukung yang jatah tampilnya kurang adil. Bahkan beberapa ada yang tidak memiliki dialog. Terlepas dari hal itu, X-MEN: DAYS OF FUTURE PAST akan membuatmu terkesan begitu keluar dari bioskop. Kalian juga bakal dibuat tak sabar menanti kehadiran sekuelnya yang rilis pada tahun 2016 dengan judul X-MEN: APOCALYPSE.

SCORE: 9/10

Selasa, 20 Mei 2014

Review: GODZILLA [2014]

©Warner Bros

Godzilla atau Gojira / ゴジラ adalah rajanya para monster yang muncul pertama kali pada tahun 1954 lewat live action produksi Toho besutan Ishiro Honda. Sejak saat itu pamor kaiju (raksasa) satu ini semakin melambung dan berhasil menjadi ikon pop dunia.

Musim panas 1998, Roland Emmerich memperkenalkan Godzilla pada masyarakat barat. Walau raihan dollar cukup menggembirakan, film ini rupanya dianggap gagal hingga triloginya pun tak terealisasi. 

Namun Hollywood tak mau menyerah begitu saja. Buktinya, tahun ini mereka kembali membawa karakter yang diciptakan oleh Tomoyuki Tanaka, Ishiro Honda dan Eiji Tsubaraya tersebut ke layar lebar dengan Gareth Edwards duduk di kursi sutradara.

Saat proyek reboot ini tercetus dengan budget 184 miliar rupiah, sempat beredar anggapan miring terkait didapuknya Gareth yang angkat nama lewat sains fiksi MONSTERS (2010). Namun dalam promosinya, anggapan tersebut melumer lantaran Gojira versi terbaru dianggap lebih setia.

Pada tahun 1999 terjadi dua peristiwa anomali di dua tempat berbeda. Di pedalaman Filipina, sepasang ilmuwan menemukan fosil makhluk raksasa. Sementara itu di Jepang terjadi gempa misterius yang memporakporandakan situs nuklir Janjira dan menewaskan banyak orang. Lima belas tahun kemudian, dua kejadian tersebut menjadi cikal bakal insiden mengerikan yakni pertarungan monster bernama MUTO yang hidup dari daya radioaktif, dengan Godzilla.  

Untuk cakupan visual, terlebih dalam memamerkan kesetiaan menghidupkan kembali Godzilla dan bagaimana ia menghancurkan gedung-gedung pencakar langit, Gareth Edwards berhasil mempresentasikan dengan baik. Namun untuk urusan cerita dan akting, film ini tergolong miskin.

David Callaham selaku penulis naskah terbilang gagal memadukan unsur-unsur menarik selama proses kelahiran kembali Godzilla yang sudah didesain sedemikian rupa hingga tampil begitu keren oleh tim visual effect. Hal itu diperparah oleh akting Aaron Taylor-Johnson sebagai alpha male yang terbilang loyo. Entahlah, dalam film ini dia terlihat sibuk mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas. Pun dengan aktor-aktris lain yang kurang mendapat jatah tampil layak.

Meski begitu, kehadiran Godzilla sebagai jualan utama mampu memuaskan penonton atau fans fanatik yang kecewa dengan versi Emmerich. Terlebih epiknya duel MUTO vs Godzilla menjelang ending yang bakal membuatmu merinding dengan latar belakang raungan yang khas dan semburan atomic breath.

SCORE: 5/10