Rabu, 09 Juli 2014

Bagian yang Hilang dari #BeforeHappiness

Ini merupakan bagian yang terhapus dari novel Before Happiness pada revisi keenam kalau tidak salah (dari delapan kali revisi). Aku sempat ingin mempertahankannya karena di sini chesmistry Happy dan Gerald dimulai. Tapi editor meminta untuk dihilangkan. So, baca aja bagi yang #TeamGerald :)

BAB 5


Pagi-pagi sekali Bunda membangunkaku dengan sangat bersemangat. Aku pikir ini sudah masuk Senin pagi yang menyebalkan, tapi ternyata masih hari Minggu. Dan pertanyaan paling urgent: kenapa Bunda mengganggu hari indahku?
            “Bangun, Happy, matahari bersinar cerah,” kata Bunda dengan senyum mengembang sambil meliuk-liukan spatula seolah aku peduli dengan matahari bersinar cerah.
            “Bunda ngapain sih? Kan aku uda bilang kalau hari Minggu biarin aku males-malesan di kamar,” keluhku seraya kembali bergelung di bawah selimut yang hangat. Melihat tingkahku, Bunda buru-buru menarik selimut motif polkadot itu hingga aku terpaksa bangun.

            “Tidak untuk hari ini. Ditunggu pacarmu tuh di bawah. Bunda nggak tahu kapan kalian jadian,” kata Bunda membuat nyawaku yang tadi rasanya masih berputar-putar di langit-langit, tahu-tahu sudah berkumpul menyeruak.
            “Hah, pacar yang mana? Bunda jangan delusi pagi-pagi deh,” kataku. Hening. Aku melirik Bunda yang  berdiri di samping tempat tidurku sambil senyum-senyum. Merasa ada yang tidak beres, aku buru-buru keluar kamar dan berlari menuju lantai bawah.
            Begitu kedua kaki menyentuh ubin putih di ruang tamu, mataku melotot melihat penampakan cowok yang kata Bunda adalah pacarku. Cowok itu tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Sedang ayah yang duduk di sofa di hadapan cowok itu, sibuk membaca koran hari ini.
            “Gerald, ngapain lo ke sini jam…” aku meihat jam dinding, “delapan pagi?” tanyaku.
            “Lha, bukannya kalian udah janjian, masa lupa?” Ayah yang menjawab.
            Aku buru-buru menyeret Gerald ke teras rumah sambil tak lupa menutup pintu depan. Aku tak mau kedua orangtuaku yang superkepo—dan berharap anaknya yang cantik benar-benar punya pacar—menguping pembicaraan kami. Bisa jadi mereka shock dan sadar bahwa keketusanku pada cowok bermata sipit dengan raut muka menjengkelkan ini, menjadi penghalang mendapatkan jodoh. Tak salah bila nanti mereka membawaku untuk di-ruqyah agar hawa-hawa jahat yang bersemayam segera pergi.
            “Ngapain sih pagi-pagi lo ke sini? Bukannya janji latihan nanti sore,” kataku setengah berbisik. Sudut mataku sibuk melirik jendela. Siapa tahu gordennya menyingkap tanda Ayah dan Bunda sedang kepo. Untung posisi gorden warna putih polos itu tidak bergerak sedikit pun atau menunjukkan tanda-tanda keganjilan.
            “Gue nanti sore ada acara, jadi gue putusin pindah jadwal. Lagian lo nganggur ini kan?” jawab Gerald sambil memandangku dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Lalu balik dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Lalu….
            “Ngapain sih lo lihatin gue segitunya?” tanyaku sambil memerhatikan tampilanku dari bawah ke atas. Sandal berkepala Pucca: check. Celana kain pendek sebatas paha: check. Tank top warna khaki: check. Terakhir; roll rambut di poni: check. Rasanya ini tidak bermasalah kecuali—aku buru-buru mematut diri di kaca jendela dan mendapati wajahku masih dipenuhi cemong-cemong masker yang belum aku bersihkan.
            “Lo uda mirip riasan setan di film horor-nya si Sadha. Hahaha,” tawa menjengkelkan dari Gerald berderai. Spontan aku membekap mulutnya menyuruh cowok itu diam.
            “Udah tahu lagi di rumah gue, lo masih berani cari gara-gara!” kataku mendelik horor setelah Gerald berhasil mendorong tubuh mungilku yang tingginya hanya sebatas lipatan ketiak cowok itu.
            “Barbar banget si lo jadi cewek. Udah, lo buruan bersihin badan terus kita latihan!” tegas Gerald seenak jidatnya sambil menunjuk gitar yang bertengger di kursi teras.
            “Kalo nggak demi Sadha gue males nurutin perintah lo!” sambil cemberut aku masuk ke rumah dan langsung menuju kamar untuk mencuci muka dan berganti pakaian yang lebih pantas. Namun setelah masuk kamar dan mencium aroma khas yang menguar di dalam, aku jadi ngantuk. Tapi aku harus berjuang menahan hawa bantal biar bisa cepat-cepat terbebas dari Gerald. Juga, ketololanku mengirimkan pesan permintaan tolong padanya kemarin.
            Aku tidak tahu sampai kapan bakal membenci Gerald. Kejadian itu sudah hampir beberapa tahun berlalu. Kami sering bertemu baik disengaja atau tidak. Masih sering jalan bareng baik dipaksa atau sudah direncanakan. Namun rasa benci itu masih menyeruak meninggalkan bekas yang entah sampai kapan.
            Padahal setelah kejadian sewaktu ospek di kampus, dia sudah minta maaf. Dia sudah mengakui kenapa melakukan hal nekat seperti itu. Aku sedikit terenyuh saat mendengar pengakuannya. Namun tetap saja aku masih belum bisa memaafkan secara tulus.
            Jadi setiap bertemu muka, bawaanya pengin marah dan melakukan tindakan barbar lainnya. Terlebih bila sudah melihat senyum dan raut mukanya yang entah kenapa, bagiku, sangat menjengkelkan.

Í

Selama beberapa jam aku dan Gerald sibuk berlatih di balkon lantai dua. Beberapa kali kami adu pendapat karena masing-masing selalu ada yang kurang. Misal Gerald menganggap aku terlalu fals atau malah berlebihan dalam bernyanyi. Sedang aku sering mengkritisi nada petikan gitar yang kadang sumbang atau malah tak cocok dengan lagu aslinya.
            Namun setelah beberapa kali latihan dengan cara yang sudah disepakati masing-masing, aku akhirnya bertepuk tangan. Merasa lagu ini bakal benar-benar cocok untuk hari spesial Sadha dan Yuna.
            “Lo selain barbar emang raja tega ya, Haha,” kata Gerald sambil melemaskan jari-jarinya setelah menaruh gitar di lantai.
            “Tega apalagi sih? Kayaknya lo nggak suka deh lihat gue lempeng dikit sama lo,” kataku sambil duduk-duduk cantik di kursi malas yang aku seret dari kamar menuju balkon.
            “Tiga jam kita latihan lo sama sekali nggak kasih gue camilan kek, minum kek, apa kek,” gerutu Gerald sambil memasang ekspresi dua kali lebih menyebalkan.
            “Hih, bilang aja lo laper atau haus. Bentar gue ambilin,” kataku seraya bangkit dan turun menuju lantai bawah.
            Rumahku yang bergaya minimalis ini terdiri dari dua lantai. Lantai pertama tempat segala aktifitas Bunda dan Ayah, dan aku tentunya. Meski aku sangat jarang berlama-lama di bawah selain sedang makan atau ikut membantu Bunda memasak. Sedang lantai dua murni kerajaan tempatku bebas melakukan bebagai kegiatan dari nonton drama Korea, gosip bareng Karel dan Yuna, atau berteriak heboh saat mengalahkan Sadha main monopoli. Oh my, baru kusadari betapa kekanak-kanakan kelakuanku selama ini. Sepertinya aku memang butuh di-ruqyah.
            Kalau diibaratkan, lantai dua ini mirip apartemen-apartemenan gitu deh. Sebelum menuju kamarku, ada ruang santai berisi TV, sebuah sofa serta meja yang sering aku gunakan untuk bermain monopoli.
            Ruang santai itu terhubung ke balkon dengan kanopi transparan. Kadang kalau hujan dan suntuk, aku sering duduk-duduk sambil menatap titik hujan yang jatuh di atas kanopi. Atau kadang iseng bermain-main tetesan hujan yang jatuh dari ujung kanopi.
            Di depan rumahku ada rumah berasitektur minimalis lain. Dulu, itu rumah Sadha. Dulu kami memang bertetangga. Namun setelah dia lulus SMA, ayahnya memboyong Sadha dan keluarga pindah ke sebuah rumah di bilangan Jakarta Barat. Rumah baru Sadha lebih besar dari rumah lamanya—tapi tidak hangat. Kadang bila aku rindu masa kecilku dengan Sadha, aku iseng menatap pagar rumah itu.
            “Happy, kapan kamu jadian sama saudaranya Sadha itu?” tanya Bunda saat aku mengambil sebotol minuman dan snack di kulkas yang terletak di sudut dapur. Pertanyaan tersebut membuatku  ingin membentur-benturkan kepala ke dinding.
            “Bunda, siapa yang pacaran sama Gerald, sih,” balasku sambil berjalan menuju lantai atas.
            “Sudah, kamu ngaku aja deh,” sambung Ayah yang tahu-tahu sudah ada di samping Bunda.
            “HIH!” geramku sambil berjingkat menuju lantai atas.
            “Ajak makan siang bareng tuh calonnya,” goda Bunda yang membuatku ingin jadi bunglon agar bisa terlihat seperti tembok. Bagaimana kalau Gerald mendengarnya? Malu, tahu!
            Beruntung saat kembali ke balkon, aku melihat cowok itu malah tertidur di atas kursi malas. Tak terdengar dengkuran sama sekali. Napasnya teratur. Tanpa sadar aku memerhatikan Gerald lekat-lekat. Wajahnya kalau tidur ternyata tidak semenyebalkan itu.
            Daripada membangunkannya, aku memilih duduk di sofa dan menyalakan TV. Sibuk mengganti channel hingga tanpa sadar ikut tertidur.

            Begitu bangun entah sudah jam berapa, aku melihat Gerald tak lagi ada di tempatnya tidur semula. Mungkin dia sudah pulang. Katanya kan, ada acara keluarga gitu sih, tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar